Halo Bung Togap dan rekan-rekan milis,
Setelah membaca artikel Bung togap dan artikel singkat Prof. Carol Drewck, saya tertarik untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan yang lain.
Pertama-tama saya menyadari bahwa saya bukan anak jenius dan berbakat, yang bisa mengerjakan dan mendapatkan sesuatu dengan less effort. Buat saya motivasi dan konsentrasi sangat penting.
Seperti yang dialami bung Togap dan penerima beasiswa yang lain, kegagalan demi kegagalan baik dalam mendapatkan beasiswa mewarnai kehidupan saya. Jangankan untuk sekolah ke luar negeri, untuk bisa diterima di universitas terbaik di pulau Jawa saja, saya kurang berhasil. Dulu untuk masuk perguruan tinggi negeri, kami diwajibkan mengikuti UMPTN. Orang tua saya bilang jika tidak diterima di negeri tidak ada biaya, dari 3 kesempatan mengikuti UMPTN, semuanya berakhir diterima di perguruan tinggi negeri di provinsi tempat saya tinggal. Akhirnya saya mencoba menekuni bidang yang saya sendiri saat itu tidak jelas. Sangat berat mengikuti perkuliahan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang saya rasa sebagian kurang kondusif. Dengan alasan ekonomi dan nilai IPK yang rendah, saya hanya bisa menamatkan Diploma 3 di Fakultas Teknik.
Harapan saya tidak padam, saya ingin sekolah setinggi-tingginya dan sekarang target saya di luar negeri. Mungkin bisa dibilang ide gila, di universitas saya saja saya tidak bisa diterima bagaimana dengan studi di luar negeri.
Pertama saya mencoba melamar AIT krn dari informasi yang kurang valid yang saya terima, saya bisa langsung melanjutkan ke Master. Dengan segala 'keluguan' saya, aplikasi beasiswa itu gagal. Kemudian saya berpikir, bagaimana kalo melanjutkan S1 ke universitas swasta dulu baru mencoba mencari S2 ke luar negeri. Saya hanya berpikir mungkin beberapa perusahaan/institusi akan melihat kompetensi seseorang berdasarkan IPK dan almamater, tapi bukan berarti orang seperti saya tidak bisa meraih kesempatan tersebut. Dengan mempertaruhkan gaji saya sekitar 10 bulan, saya membayar uang masuk sekolah di PTS dan saya lulus. Kembali karena saya melanjutkan D3 ke S1, tentunya sebagus apapun nilai saya di S1 belum bisa meningkatkan IPK saya secara drastis. Mengutip gaya bung Togap, IPK saya masih 2, XX.
Saya mulai kerja di kontraktor/konsultan dan semua berdasarkan kontrak, jika tidak ada proyek berarti tidak ada pekerjaan. Terkadang diskriminasi terhadap perempuan juga saya rasakan, dianggap pekerjaan teknik hanya milik pria. Keinginan untuk sekolah di LN tidak -pernah mati. Kemudian saya mulai karir saya di univ. swasta sebagai asisten laboratorium dengan harapan bisa jadi dosen dan sekolah ke luar negeri. Terlalu jauh untuk bermimpi saat itu dan sangat tidak realistis.
Setelah hampir satu thn, satu orang dosen mengundurkan diri yang notabene juga sekretaris laboratorium. Dia juga sekretaris proyek di universitas yang diprediksikan untuk berangkat sekolah ke LN. Akan tetapi dia mengundurkan diri karena diterima PNS dan amanah orangtua nya sebelum meninggal utk melihat anaknya menjadi pegawai negeri. Setelah perjuangan batin yang keras, dia mengundurkan diri. Kemudian dia mempromosikan saya untuk menggantikan posisinya dia sebagai sekretaris yang sangat ditentang keras oleh kepala laboratorium dengan berbagai alasan. Saya diwawancara oleh beberapa asisten direktur hingga direktur dan diterima tanpa sepengetahuan kepala laboratorium. Dosen yang mengundurkan diri tersebut juga melakukan training beberapa hari sebelum dia benar-benar meninggalkan kampus. Ketika kepala laboratorium mengetahui saya akan menjadi sekretaris di proyek tersebut, dia sampai menghadap kepala yayasan meminta saya untuk kembali ke laboratorium dengan berbagai alasan yang saya kurang tahu. Setelah terombang ambing, karena yang meminta saya adalah direktur dan asisten direktur, akhirnya saya bisa menjadi sekretaris projek. Tapi tidak ada satu orang pun yang bicara kemungkinan saya bisa diberangkatkan ke luar negeri atau bisa menjadi dosen.
Setelah 6 bulan menjadi sekretaris proyek, saya dipercaya untuk mengajar satu kelas dan terkadang menggantikan dekan mengajar mata kuliahnya. Kemudian pihak pimpinan memberi tantangan kepada saya, kami akan mengirimkan kamu sekolah ke luar negeri, full scholarship dengan catatan kamu bisa diterima sekolah tersebut, mengikuti TOEFL atas biaya sendiri, dan mendapatkan visa. Setelah kamu siap berangkat semua dana termasuk application fee, TOEFL, dan visa kami ganti.
Mengajar dan proyek sangat menyita waktu saya dari pagi sampai tengah malam, bahkan sabtu dan minggu. Saya mencuri waktu di tengah2 pekerjaan, pagi2 sekali dan tengah malam, mempersiapkan TOEFL dan aplikasi dan lain-lain. Singkat kata akhirnya saya diterima di beberapa universitas di Netherland, Australia, dan Amerika Serikat.
Agustus 2004, saya berangkat sekolah di AS dan tahun lalu menyelesaikan master saya dengan GPA yang hampir 4.0. Bahkan awal tahun ini saya bisa melanjutkan S3 dengan tuition dibiayai oleh doctoral fund dan research di universitas yang sama di AS.
Saya yakin motivasi yang kuat dan mindset selalu berkembang bisa membuat seseorang mendapatkan impiannya. Saya banyak belajar dari berbagai kegagalan dan kesuksesan dan terus akan belajar. Kesempatan tidak hanya buat mereka yang IPK-nya lebih dari 3.0 dari universitas favorite, dll, tapi buat semua orang. Jangan pernah menyerah!
Be passion, patient, and persistent!
Salam kangen,
Susi
Baca informasi beasiswa dan tipsnya di http://www.milisbeasiswa.com/
Saturday, June 9, 2007
Susi: Be Passion, Patient, and Persistent!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment